“I am who I am. Don’t try to change me. Take me as I am, or watch me as I go.”
“Aku adalah aku. Jangan coba-coba mengubahku. Terima aku apa adanya. Kalau tidak ya sudah.”
Mungkin kalimat ini ada benarnya. Tapi setelah menjalani hidup sepuluh tahun terakhir, jalan fikir seperti ini perlahan berubah.
Think about it.
Kalau orang yang saya cintai sedang menghancurkan diri, apakah saya
harus tinggal diam hanya karena saya tidak berhak “mengubah” dia? Atau
ketika saya tahu saya telah melakukan kesalahan karena sifat dasar saya
yang kurang berkenan bagi orang lain, apakah kemudian saya tidak
berusaha untuk merubah diri agar jadi lebih baik?
Hidup itu proses evolusi, terus berevolusi menjadi lebih baik — baik
bagi orang lain dan tentunya baik bagi kita sendiri. Biasanya proses
evolusi ini akan lebih mudah ketika kita benar benar mencintai diri kita
sendiri dan orang lain.
Mungkin bagi sebagian orang, ini terdengar klise dan sekedar
retorika. Tidak demikian bagi saya. Dua per tiga perjalanan hidup saya
tidak mudah. Banyak kecewa, sakit hati, tidak percaya karena satu dan
lain hal. Di masa lalu, jika saya mau hancurkan diri dalam dunia kelam
pun bisa. Namun meski perjalanan berkerikil, darah dan luka di telapak
kaki mungkin memperlambat langkah, namun tak pernah hentikan langkah
untuk keluar dari yang kelam. Mungkin karena saya terlalu sayang pada
hidup ini yang hanya kita terima satu kali. Mungkin juga saya terlalu
cinta pada orang-orang terkasih dan tak pernah mau kehilangan mereka
hanya karena keras kepala yang tidak perlu.
Sumber : @MarissaAnita
0 komentar:
Posting Komentar